(me) Lupa (kan) Potensi Emas

10/12/13

(me) Lupa (kan) Potensi Emas


fitcola.com


Budaya instan dalam kehidupan masyarakat seringkali membuat cara berpikir kita menjadi pendek. Alasan utamanya adalah kepraktisan. Dalam beberapa hal praktis itu bagus, jalan pintas menuju sesuatu. Namun ada kalanya kepraktisan menimbulkan sebuah masalah baru, yaitu kemalasan. Alih-alih ada hal yanglebih baik, namun karena malas kita cenderung menurunkan standar kualitas sehingga lebih baik praktis, toh hasilnya (nampaknya) sama.

Kasus ini saya lihat di beberapa segi kehidupan di Indonesia. Negeri dimana semua hal yang dibutuhkan manusia berada. Contoh kasus adalah makanan. Berbagai media 'berhasil' mengubah pola masyarakat melalu iklan, baik itu media cetak, internet, atau televisi. Kita banyak menjumpai berbagai produk makanan dan minuman sudah mempunyai versi instannya. Ingin Es jeruk tingal beli versi kemasan, kopi susu ada sachet, mie ayam kemasan plastik, sambal dalam saus, dan lainnya. Masing-masing dengan rasa yang sudah distandarkan. Serupa tapi tak sama. Dari kebiasaan tersebut, kita sedikit dipaksa untuk mengikuti selera produk. Tidak seperti jika kita meraciknya sendiri.

Takaran-takaran tersebut akirnya menghilangkan minat kita untuk berekslorasi lebih lanjut. Apalagi di kota-kota besar yang 'tidak banyak waktu'.



Analog & Digital

Pada awal 90an, ketika saya masih remaja dan menggandrungi musik, saya biasa membeli kaset album original dalam bentuk pita, analog sebutannya. Saat itu seusah untuk mencari bajakan apalagi mp3, belum ada. Sehingga saya benar-benar menghargai apa yang sudah saya beli. Ratusan kali memutar kaset tersebut, say atidak bosan, terutama kualitas dari rekaman yang detail, tidak jernih namun komplit, dan noise yang dihasilkan membawa imajinasi saya seakan sedang melihat band yang saya sukai bermain didepan mata. Kualitas tersebut disempurnakan melalui piringan hitam dan CD. Di kepingan CD saya masih merasakan kualitas itu, terutama detail instrument dan audio yang dikeluarkan, tanpa kompresi. Sampai akhirnya datanglah sebuah format MP3. Sebuah format audio berkompresi kecil sehingga bisa menampung ratusan lagu dalam satu CD berkapasitas 700MB.

Booming mp3 'memalaskan' kita untuk mendengar format CD (wav), apalagi kaset pita. Karena pembajakan semakin banyak dan menjamur, maka hal ini mengubah pola masyarakat, dari yang tadinya pasif mendengarkan musik, menjadi sangat aktif. Dimana-mana, disetiap toko, warung, rumah padat penduduk, mereka menyetel mp3, hinggar bingar.Kalau dulu harus mengeluarkan uang minimal 30 rb untuk membeli kaset dan 70 rb untuk membeli CD, maka dengan mp3 bajakan, orang cukup merogoh kocek 5 rb rupiah saja. Pun isinya sudah lebih dari 100 lagu. Ini fenomenal, terutama untuk masyarakat kurang mampu. Sari segi kualitas, sudah jelas bahwa file yang nomrmalnya (wav) 50 s/d 70 MB, dipadatkan (kompresi) menjadi 5 MB. Tentu saja ada penurunan detail suara, kompleksitas bunyi. Lambat laun, kepekaan kita terhadap audio menjadi menurun, pada akhirnya standar kualitasnya juga. Sayangnya rata-rata tidak semua orang peka, dipikirnya sama saja.

Kini, jika kita diberi pilihan untuk membeli kaset, CD, atau mp3, sebagian besar memilih mengeluarkan sedikit uang tetapi mendapatkan banyak lagu. Kuantitas mengalahkan kualitas, sudut pandang ekonomis.

Lebih jauh silakan baca disini :)

---

Contoh diatas berlaku dibanyak hal. Sebut saja fotografi. Hobby latah baru setiap orang dengan gadget digenggaman. Kini semua handphone wajib memiliki kamera, apalagi smartphone dengan 2 kamera terpadang di depan dan belakang. Belum lagi kualitasnya yang semakin mendekati maksimal, menyamai kualitas kamera profesional (DSLR). Rata-rata kamera menggunakan format JPEG sebagai defaultnya. Pertimbannganya adalah kompresinya yang kecil. Walau pun secara mega pixel tinggi, namun tetap saja format inilah yang sering digunakan. Padahal sekarang sudah banyak kamera yang mengusung format RAW. Kembali terjadi penurunan kualitas.

Lucunya banyak pemilik DSLR yang tidak sadar akan kemampuan kameranya tersebut. Berbekal kemampuan yang minim, maka jarang yang sampai memaksimalkan kemampuan alatnya tersebut.

Motor & Mobil

Dibeberapa kasus memang berbeda perlakuan untuk memaksimalkan alat. Kecepatan motor dan mobil misalnya. Jika semua orang menggunakan kecepatan penuh, yang rata-rata diatas 100 km/jam, maka hal ini membahayakan pengguna. Sebuah pengecualian, jika ngebut dilakukan di tempat khusus seperti sirkuit balap.

Jadi kalau rata-rata kita hanya menggunkan kecepatan 40 s/d 60 km/jam (motor) dan 80 s/d 120 km/jam, lalu untuk apa membeli kendaraan yang batas kecepatannya diatas 250 km/jam? Belum lagi keaadaan lalu-lintas yang semakin padat, kondisi jalan yang sempit dan banyak pasir. Ini pilihan.

---bersambung

1 komentar :

Ay said...

Hehehehe... sekarang zamannya orang dituntut untuk modern bang.

Tapi orang yang hebat dan tidak pelupa, adalah orang yang mau melawan arus.

contohnya,
orang yang kaga pake smart2phone. cuma pake hp jadul Nokia

Orang yang pake kamera roll film hihihihi. masih ada loh bang orang kaya begitu. dan itu Antik. perlu diawetkan juga dilestarikan hahaha,